JAKARTA – Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Sektor Keamanan mendesak reformasi Peradilan Militer setelah kejahatan dan kekerasan yang dilakukan oknum TNI terus terjadi dan terbaru adalah pembunuhan Imam Masykur warga Bireuen di Tangerang yang dinilai sangat keji dan tidak berperikemanusiaan.
Sebab itu, Koalisi elemen sipil terdiri dari Imparsial, Kontras, Amnesty International, YLBHI, PBHi, LBH Jakarta, Centra Initiative, Walhi, HRWG, ICW, Forum de Facto, ICJR, Setara Institute, LBH Masyarakat mendesak agar proses hukum terhadap tiga oknum TNI, seorang diantaranya anggota Paspampres dilakukan dalam peradilan umum dan bukan peradilan militer.
Hal ini menjadi penting untuk memastikan proses hukumnya berlangsung dengan transparan dan akuntabel. Tidak boleh ada yang ditutup-tutupi dalam penyelesaian kasus ini sehingga keadilan bagi korban dan keluarga dapat terpenuhi.
Kasus Imam Masykur tidak hanya mencoreng nama kesatuan, juga jadi bukti bahwa aksi kekerasan dan kejahatan yang melibatkan anggota TNI terus terjadi. Sebelumnya terdapat kasus-kasus kekerasan aparat TNI di sejumlah daerah terutama di Papua.
Koalisi menilai tindakan kekerasan seperti ini akan terus terjadi sepanjang tidak ada penghukuman yang adil dan maksimal terhadap oknum anggota militer yang terlibat kejahatan.
“Selama ini, terdapat kasus-kasus kekerasan dan kejahatan pidana lainnya yang melibatkan anggota TNI tetapi penghukumannya ringan, terkadang dilindungi bahkan ada yang dibebaskan. Misalnya adalah kasus penyerangan Lapas Cebongan, kasus pembunuhan terhadap Pendeta Yeremia Zanambani di Papua, Kasus pembunuhan tokoh Papua Theys Eluay, Kasus korupsi pembelian helikopter AW-101, kasus korupsi Basarnas, dll),” kata Usman Hamid dari Amnesty International Indonesia, Senin (28/8/2023).
Penghukuman yang tidak adil terjadi akibat oknum anggota TNI yang terlibat kejahatan diadili dalam peradilan militer yang sama sekali tidak memenuhi prinsip peradilan yang jujur dan adil (fair trial) yang mengedepankan transparansi dan akuntabilitas.
Peradilan militer selama cenderung menjadi sarana impunitas bagi anggota militer yang terlibat kejahatan. UU Nomor 31 tahun 1997 yang menjadi dasar peradilan militer sejatinya memang didesain untuk melindungi anggota militer yang melakukan kejahatan dan melindungi rezim Soeharto karena UU ini dibuat di masa akhir pemerintahan orde baru. Politik hukum undang undang peradilan militer sepenuhnya untuk melindungi kepentingan rezim Soeharto serta anggota militer yang melakukan kejahatan.
Koalisi mendesak kepada Presiden dan DPR agar segera melakukan reformasi peradilan militer dengan cara membuat Perppu tentang perubahan sistem peradilan militer atau segera mengajukan revisi terhadap UU peradilan militer. Presiden dan DPR tidak boleh diam apalagi takut untuk melakukan agenda reformasi peradilan militer.
“Sebab itu, Presiden dan DPR jangan lari dari tanggung jawab konstitusionalnya untuk melakukan penegakan prinsip negara hukum yang di dalamnya mengharuskan adanya asas persamaan di hadapan hukum (equality before the law). Tidak boleh ada warga negara yang diistimewakan di hadapan hukum. Semua warga negara sama kedudukannya di hadapan hukum sehingga semua wajib diadili dalam peradilan yang sama jika terlibat kejahatan yakni di dalam peradilan umum,” tambah Usman.
Agenda reformasi peradilan militer adalah sebuah mandat rakyat yang telah dituangkan dalam TAP MPR nomor VII tahun 2000 dan mandat UU nomor 34 tahun 2004 itu sendiri (Pasal 65 UU TNI). Dengan demikian, tak ada alasan bagi Presiden dan DPR untuk tidak melakukan pembahasan revisi UU nomor 31 tahun 1997.
Apalagi kasus kekerasan dan kejahatan (penculikan, pembunuhan, korupsi, penyiksaan dll) terus berulang yang melibatkan oknum anggota militer. Dengan demikian, reformasi peradilan militer adalah sebuah keharusan dan kewajiban konstitusional yang harus segera dilakukan Presiden dan DPR.
Koalisi mendesak penyelesaian kasus penculikan dan pembunuhan terhadap Imam Masykur harus diadili dalam peradilan umum dan tidak melalui peradilan militer.
“Sekali lagi Kami juga mendesak Presiden dan DPR untuk segera melakukan reformasi peradilan militer diantaranya dengan merevisi UU Peradilan Militer dan tidak menunda-nundanya lagi. Penundaan proses reformasi peradilan militer akan membuka ruang besar kembali berulangnya kejahatan dan kekerasan seperti dalam kasus Imam Masykur dan kasus lainnya,” pungkas Usman.
Discussion about this post