TAPAKTUAN – Draft Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh yang telah disusun oleh Tim Advokasi UUPA bukan untuk mengganti UU yang telah berjalan selama ini. Draft yang turut dirangkum bersama Tim Advokasi UUPA tersebut juga tidak bertujuan untuk mengandemen UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh yang telah diimplementasikan selama kurang lebih 17 tahun belakangan.
“Sifatnya draft ini adalah revisi, yang tentunya tujuan revisi UUPA ini adalah untuk menguatkan kelembagaan yang ada di Pemerintahan Aceh dan salah satu lembaga itu adalah kewenangan yang kita miliki berdasarkan hasil kesepakatan damai antara Pemerintah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) melalui MoU Helsinki tahun 2005 lalu,” kata Wakil Ketua DPR Aceh, Safaruddin, yang juga Koordinator Zona IV Tim Sosialisasi UUPA di Tapaktuan, Kamis, 2 Maret 2023.
Sosialisasi ini bertujuan untuk memberikan informasi serta menjaring aspirasi dari seluruh masyarakat Aceh.
Sosialisasi draft perubahan UU Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh ini dilaksanakan melalui metode tatap muka dengan penyampaian paparan serta diskusi interaktif. Kegiatan yang juga dihelat di sejumlah kabupaten dan kota di Aceh ini turut mengundang pimpinan dan anggota DPRK setempat, Bupati/Wali Kota, Kapolres, Kajari, Dandim dan juga Ketua MPU.
Selain itu, sosialisasi ini juga turut mengundang Ketua Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA), Ketua MPA, Ketua MAA, Asisten I, Kepala Kesbangpol dan Kabag Hukum Setda Kabupaten Aceh Selatan.
Peserta yang hadir dalam sosialisasi ini juga berasal dari unsur ulama, akademisi, ketua partai politik, unsur KPA Wilayah, Ketua PWI, KNPI, Forum Mukim, Keuchik, Kadin, PGRI bahkan unsur LSM.
Terdapat beberapa pertimbangan yang membuat UU Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh dinilai perlu direvisi. Pertama, revisi UUPA dilaksanakan karena adanya tinjauan politis pasca lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang berdampak kepada undang-undang hasil kesepakatan damai tersebut.
Poin putusan MK yang disebut berdampak pada perubahan UUPA tersebut adalah Keputusan MK Nomor 30/PU-VIII/2010 yang berimbas pada pasal 256 UU No. 11 tahun 2006 terkait calon perseorangan. Selanjutnya Keputusan MK Nomor 51/PU-XIV/2016 yang mematahkan ketentuan dalam Pasal 67 ayat (2) huruf b UUPA terkait calon Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota harus memenuhi persyaratan tidak pernah dihukum tindak pidana kejahatan dan seterusnya.
Selain itu, terdapat beberapa putusan MK lain yang juga berdampak pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh sehingga diperlukan adanya revisi terhadap produk hukum kekhususan Aceh tersebut.
Beberapa peserta yang hadir turut memberikan masukan agar pasal-pasal di dalam UUPA tidak terus berguguran akibat lahirnya regulasi baru di Indonesia, di masa mendatang. Selain itu, ada pula peserta yang menyorot agar pasal-pasal terkait kelembagaan Wali Nanggroe diperkuat dalam revisi UUPA tersebut.
“Kekhususan Aceh itu dan kedaulatan Aceh itu nampak pada hadirnya Lembaga Wali Nanggroe di Aceh. Jadi Lembaga Wali Nanggroe tidak bersifat pada kepemimpinan adat,” ujar salah satu peserta sosialisasi Draft Revisi UUPA di Tapaktuan tersebut.
Para peserta berharap dalam revisi tersebut kelembagaan Wali Nanggroe diperkuat secara politis sehingga terlihat bahwa institusi tersebut benar-benar hasil perdamaian Aceh. Selanjutnya, para peserta juga berharap adanya klausul yang memperkuat Qanun-Qanun Aceh, sehingga tidak menjadi lemah begitu lahir sepucuk surat dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) seperti nasib Qanun Lambang dan Bendera Aceh.[]
Discussion about this post