Oleh : Jacob Ereste
ASNAPOST.COM | Ketika hidup mulai dikuasai oleh materi-materi hingga materi seakan-akan menjadi semacam sesuatu yang mampu memberi kebahagiaan bagi kehidupan di dunia, maka sejak itulah pemahaman materialistik mulai menguasai segenap spektrum kehidupan yang akan terus berkembang jadi pemahaman kapitalis hingga tampilan terbarunya yang disebut neoliberal.
Semua takaran dan ukuran akan selalu dikalkulasi dalam bikangan materi, hitungan angka-angka yang menjadi patokan cara menghitung rugi atau untung hanya sebatas materi semata, maka hal-hal yang bersifat batiniah sudah terabaikan. Dan jarak kepada Tuhan pun makin jauh dab terlupakan.
Pada saat yang sama biasanya, bilangan dalam bentuk non materi tak lagi dianggap penting. Karena itu dalam kalkulasi hidup serup ini, nilai-nilai spiritual atau apapun yang berdimensi non materi tiada lagi memiliki tempat bersemayam di hati atau kalbu yang mampu menyemai benih kebaikan untuk semua makhluk dan alam serta lingkungan sekitar yang patut dijaga tatanannya yang harmoni dan lestari demi dan untuk kehidupan bersama.
Jadi mereka yang selalu menangguk keuntungan untuk kepentingan bagi dirinya sendiri itu, sungguh jahat dan keji, egoistik, tidak memiliki tenggang rasa, karena ingin memenuhi hasrat keinginan sendiri tanpa memiliki pertimbangan untuk orang lain.
Dalam upaya untuk melakukan keseimbangan ini GMRI (Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia) telah lama menggagas gerakan untuk kebangkitan dan kesadaran spiritual untuk ikut meredakan ambisi dan egoisme pribadi yang cenderung mengabaian sikap tenggang rasa, agar kemudian dapat kembali memposisikan etika, moral dan akhlak manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia di muka bumi, kembali menjaga kemuliaan dirinya sendiri maupun kemuliaan orang lain.
Oleh karena itu, sikap dan sifat mulia manusia hendaknya dapat dijadikan takaran pertimbangan untuk segenap aktivitas atau perbuatan dalam berbagai bidang pekerjaan yang akan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup, agat tidak sampai menimbulkan keburukan atau bencana, baik bagi diri sendiri maupun untuk orang lain.
Karena itu, hal-hal yang bersifat non materi — mulai dari nilai sosial, moral, etika dan akhlak serta keimanan dalam keyakinan beragama — makin cenderung diabaikan sebagai pegangan dalam bersikap. Hingga apapun yang berdimensi spiritual — yang bersifat batiniah — sebagai lawan kata dari apa saja yang bisa disebut lahiriah — sudah menghilang dari kamus kehidupan dan penghidupan manusia di bumi. pada hari ini, akibat kalap memburu materi sebanyak-banyak mungkin, tanpa mengindahkan tata krama etika serta tatana moral yang telah dipatok oleh akhkak mulia dari nilai-nilai kemanusiaan manusia yang terabaikan.
Karena itu, banyak perilaku manusia yang menyimpang pada era milineal sekarang ini yang sulit diterima akal sehat. Apalagi untuk takaran etika dan moral, seperti untuk para pencoleng dan perampok uang rakyat yang tidak lagi memiliki rasa malu atau bahkan harga diri. Sebab semua takaran dan ukuran harga diri mereka telah dianggap cukup disublimasikan pada barang serta pakaian mewah yang mereka miliki dalam bercampur gaul dengan warga masyarakat manapun.
Celakanya, warga masyarakat pun terlanjur menaruh kekaguman serta penghormatan pada mereka yang abai pada tatanan etika dan moral serta akhkak yang bobrok, hanya karena terbungkus oleh kegermalapan sandangan dan pakaian serta kilau harta yang mereka dimiliki. Meski sesungguhnya itu semua sangat dipahami oleh mereka didapat dengan cara yang culas, curang dan manipulatif hak milik orang lain.
Agaknya, atas dasar itu pula tipu menipu dengan cara penampilan dan pencitraan pun telah menjadi mode yang ngetren, meski sebetulnya semua itu palsu, atau sekedar tampilan dari kepura-puraan belaka. Seperti budaya kredit pun menjadi telah menjadi kegandrungan pilihan umum masyarakat — walau dengan cara memaksakan kemampuan di luar batas — hanya agar penampilan dapat terkesan keren dan wah.
Omong kosong pun menjadi bumbu penyedap tampilan suguhan, meski semuanya bohong arau omong kosong seperti janji yang begitu gampang diumbar laku kemudian dengan enteng diingkari. Jadi pada kondisi dan situasi seperti inilah rasa dan kesadaran bahwa semua itu adalah dosa menjadi terabaikan dalam setiap sikap dan perbuatan yang tidak lagi sesuai dengan apa yang telah diucapkan. Begitulah ikhwal sumpah dan janji ketika menerima amanah rakyat bermulanya kemunafikan. Dan semua itu hanya mungkin dapat diredakan dengan menekuni laku spiritual secara tulus dan rendah hati, bahwa semua sikap dan perbuatan buruk itu kelak pasti ada azab dan karmanya.
Yang lebih sial dan tragis, tentu saja bila azab dan karma itu tidak langsung menghajar diri kita, tapi menerpa anak atau cucu kita yang tidak berdosa.
Banten, 23 Mei 2022
Discussion about this post